Bahan Ajar dan Latihan Soal PAI Kurikulum KTSP 2006
Untuk Siswa Kelas IX Semester Genap
SMPN 1 Cerme Gresik – Jawa Timur
___________________________________________
Penulis :
Drs. A. SUCHAIMI, M.A.
A. MANUSIA ADALAH MAKHLUK BERBUDAYA
Kelebihan manusia diatas makhluk
lain terletak pada kemampuannya dalam menciptakan kebudayaan dan perada-bannya.
QS At-Tin ayat 4 dijelaskan, bahwa
manusia adalah makhluk yang terbaik bentuk ciptaannya (Ahsanu Taqwim),
baik dari segi fisik (raga) maupun psikhis (jiwa). Secara kejiwaan, Allah
me-lengkapi manusia dengan akal dan nafsu secara seimbang, sehingga muncul dari
diri manusia tiga daya atau potensi yang meliputi cipta, rasa dan karsa. Dengan
ketiga potensi / daya tersebut, manusia mampu melahirkan kebudayaan dan
peradabannya, sehingga mengantarkan-nya menjadi makhluk yang terunggul dan
terhormat diatas makhluk Allah lainnya.
Jadi, kelebihan manusia atas makhluk
lainnya terletak pada ke-mampuannya dalam menciptakan kebudayaannya sendiri,
sehingga paslah jika manusia disebut
sebagai makhluk berbudaya.
Allah menyinggung kelebihan manusia
atas makhluk lainnya dalam QS Al-Isro',[17] : 70
"Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan."
Oleh karena itu, kehidupan manusia tidak
dapat dilepaskan dari kebudayaan dan peradabannya.
Kebudayaan dan peradaban manusia berbeda-beda.
Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh faktor lingkungan hidup dan
agama atau kepercayaan yang dianut. Diantara bentuk kreasi-karya manusia dalam
bidang ini berupa tradisi-tradisi.
Terjadinya Akulturasi Budaya
Sejak dulu, bangsa Indonesia kaya dengan kreasi budaya
(tradisi), baik yang berupa karya seni (seni budaya) maupun upacara adat. Agama
Islam masuk ke Indonesaia pada akhir abad ke-7 dan pesat berkembang sejak abad
ke-13, atas peran para pedagang muslim dan muballigh dari bangsa arab, gujarat
dan persia. Sementara itu, budaya dan tradisi lokal bangsa kita tersebut tetap
berjalan seiring dengan budaya dan tradisi Islam. Setidaknya, budaya dan tradisi Islam yang
dibawa oleh ketiga bangsa tersebut sedikit banyak turut mewarnai budaya dan
tradisi lokal (Indonesia), sehingga terjadinya akulturasi (pembauran) di bidang budaya dan tradisi ini
tidak dapat dihindari. Tidak menutup kemungkinan bahwa budaya dan tradisi yang
satu mendominasi (menguasai) yang lain, yang pada akhirnya lahirlah budaya dan tradisi baru, yakni budaya
dan tradisi Islam Indonesia, atau Budaya dan Tradisi Lokal yang
Bernafaskan Islam.
B. SENI BUDAYA LOKAL BERNAFASKAN ISLAM
Yang dimaksud dengan Seni Budaya
Lokal yang Bernafaskan Islam ialah segala
bentuk kesenian yang berasal dari dan berkembang di daerah-daerah di Indonesia
yang dipengaruhi oleh Islam dan memiliki nilai-nilai keislaman. .
1. Keterkaitan Seni Budaya dengan Islam.
Islam adalah agama
yang paling sempurna. Selain mengatur hubungan manusia dengan Alloh swt (Ibadah),
Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Muamalat).
Di bidang mu'amalat,
Islam mengatur tata kehidupan kaum muslimin dalam berbudaya, baik dalam aspek
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (sosial-politik),
berekonomi, berkesenian, maupun dalam aspek kehidupan lainnya.
Kesenian identik dengan keindahan.
Sebagai pendorong kaum muslimin dalam aspek kehidupan berkesenian adalah Hadis
Nabi saw :
اِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
"Alloh swt itu
Maha Indah. Dia menyukai keindahan". (HR Muslim).
Dengan kata lain,
orang yang menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya, maka segala aspek
kehidupan berbudayanya, tentu akan diwarnai dan dipengaruhi oleh nilai-nilai
keislaman yang diyakininya itu. Dengan begitu, seni budaya yang diciptakan kaum
muslimin tersebut tentu terkandung nilai-nilai keislaman, di samping juga ada
nilai-nilai lokal / kedaerahan, karena kehidupan manusia tidak dapat lepas dari
pengaruh lingkungan dimana ia hidup.
2. Berbagai Macam Seni Budaya Lokal yang
Bernafaskan Islam
Seni budaya banyak
cabang dan macamnya. Diantaranya adalah seni suara, seni musik, seni tari, seni
sastra, pertunjukan, seni lukis, seni pahat dan ukir, seni pakaian, seni kaligrafi, seni arsitektur-bangunan, dan
lain-lain.
a.
Wayang dan Tembang Mocopat
Asal usul Wayang
berasal dari India yang digunakan untuk menceritakan ajaran Hindu yang
diambilkan dari kitab Mahabarata. Pada abad -15, seni ini diperbaiki dan
dikembangkan dalam bentuk baru oleh Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, untuk
dijadikan sebagai metode dakwah yang cukup efektif saat itu. Sumbangan Sunan
Kalijaga antara lain menambah perangkat debog (batang pisang), keber,
blencong atau dian, dan penyusunan cerita-cerita carangan, dan
lain-lain.
Cerita-cerita
(lakon) wayang yang tadinya diambil dari
kitab Mahabarata dan Ramayana, lalu diselipi nilai-nilai simbolik yang
bernafaskan islam. Bahkan diganti dengan cerita atau lakon carangan buatan
sendiri. Misalnya lakon Dewa Ruci, Jimat kalimosodo, Petruk dadi Ratu, Semar
ambarang Jantur, Mustaka Weni, Pendowo Limo, dan lainnya.
5 orang tokoh dalam
lakon Pandawa Lima merupakan
simbol dari Rukun Islam. Tokoh Puntadewa (simbol Syahadat), Wrekudara
atau Bima (simbol Shalat), Arjuna (simbol zakat),
dan tokoh kembar Nakula-Sadewa (simbol Puasa dan Haji).
Lakon wayang Jimat
Kalimasada merupakan cerita yang dihubungkan dengan ketauhidan, Kalimat
Syahadat.
Para “Dewa” dalam
dunia wayang tidak dipandang sebagai Dewa setingkat Tuhan, akan tetapi
sebagai “manusia istimewa” yang silsilahnya sampai kepada Nabi
Adam.
Nama dan istilah
dalam wayang dimasuki unsur-unsur keislaman. Misalnya istilah “Dalang”
diambil dari bahasa arab “Dalla”, artinya yang menunjukkan.
Demikian pula nama “Petruk”, berasal dari kata “Fatruk”,
artinya maka tinggalkan. “Bagong”,
dari kata “Baghoo” artinya lacut, durhaka, zhalim. “Semar” dari
kata “Syimar”, artinya arif dan waspada.
(Ismunandar, K., 1988 ; 95-103).
Dalam pementasan wayang, biasanya dselilingi
dengan melagukan Tembang Mocopat. Seni suara
muncul di Jawa sekitar abad ke-15 dan 16 sebagai kreasi dari Walisongo.
Syair yang dilagukan berisi ajaran Islam, terutama tauhid, akhlak dan tasawwuf.
Diantaranya: tembang Dandanggula (karya S. Kalijaga), Asmaradana dan Pucung (S.
Giri), Durma (S. Bonang), Maskumambang dan Mijil (S. Kudus), Sinom dan Kinanti
(S. Muria), Pangkur (S. Drajat).
Selain itu, ada tembang
dolanan bocah, yaitu nyanyian untuk anak-anak, diantaranya karya Sunan
Giri, seperti tembang Lir-Ilir, Sluku-Sluku Bathok, Cublak-cublak
Suweng, Gendi Gurit, Jamuran, Jitungan, dll,
b. Gambus,
Kasidah, Hadhrah, Al-banjari, dan Qiro’ah
Musik gambus berasal dari arab.
Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair-syair arab, terkadang juga syair
bahasa Indonesia. Alatnya meliputi : kecapi petik, gambus, rebana kecil, dan
marawis.
Qosidah artinya puisi.
Dalam hal ini dipahami sebagai seni suara yang bernafaskan Islam yang lagunya
diambil dari syair-syair arab, dari kitab qasidah Barzanji, dan kitab qasidah
lainnya, terutama yang berisi sholawat Nabi, dan diselipi ajaran moral. Alat
musiknya seperti gambus.
Bahkan, group
Qosidah Modern seperti Group
Nasida Ria dari Semarang, melengkapi dengan peralatan musik elektronik
modern. Syair lagunya pun bervariasi,
selain sholawat Nabi adalah syair-syair
berbahasa Indonesia yang berisi ajaran keislaman, terutama akhlak.
Hadhroh dan Al-Banjari
sebagian besar alatnya dari rebana. Syairnya diambil dari qasidah barzanji,
diba;iy, dan sya'ir sholawat Nabi.
Hadhroh, gambus,
qosidah dan Al-Banjari biasa dimainkan dalam acara semecam khitanan,
pernikahan, pengajian, dan acara keislaman lainnya.
Di Banyuwangi ada
seni Kuntulan: perpaduan antara musik dan tari Banyuwangi dan
Hadhroh.
Sedangkan tentang
seni melagukan bacaan Al-Qur’an dengan suara merdu atau Qiro’ah,
merupakan seni budaya Islam yang memiliki
7 versi lagu sebagai kreasi dari orang Hijaz, Mesir, Persia, Turki, dan
arab lainnya, meliputi lagu Bayati,
Shoba, Hijaz, Nahawand, Rost, Sikah dan Jiharkah. Seni ini semakin
terkenal luas setelah adanya event MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an).
c.
Tari Zapin dan Tari Sufi Seudati
Tari Zapin diperagakan dengan
gerak kaki dan tangan yang indah dan lincah. Tari ini muncul di daerah Riau
Sumatera untuk mengiringi irama musik gambus, kasidah dan hadhroh. Penarinya
semuanya lelaki.
Tari Sufi Seudati berasal dari
tarian para sufi di Aceh. Penarinya semua lelaki. Bunyi musiknya dari tubuh
penari sendiri seperti menepuk tangan, dada, dan mengertakkan jari.
d. Lukis, Pahat, Ukir, Batik, Busana
Sebelum datangnya
Islam, ketiga seni tadi sudah berkembang, demi kepentingan agama Hindu Budha
dan diwarnai dengan corak gambar binatang, manusia, dewa. Diantara hasilnya
berupa: Patung dewa, ukiran / patung binatang, relif di candi, ukiran di
gapura, dll.
Setelah Islam
masuk, lalu diubah dengan bercorak/motif tetumbuhan, pepohonan, benda mati, dan
ukiran kaligrafi arab (ayat Al-Qur’an- Hadis).
Pakaian asli
penduduk di Indonesia biasanya membuka aurat, misalnya di Jawa, wanitanya
memakai Kemben. Setelah Islam masuk, seni berbusana menjadi
terpengaruh, yakni sopan dan menutup aurat. Maka, muncul mode pakaian
seperti Baju Takwa, Baju Teluk
Belanga, Kerudung, Jilbab, Songkok atau Kopiah, blangkon,
baju surjan, serban dan
lain-lain.
Dari kalangan Walisongo,
Sunan Kalijaga cukup kreatif dalam
menciptakan beberapa cabang kebudayaan, terutama bidang kesenian yang sangat
kaya dengan nuansa keislaman. Dia sangat kreatif merubah corak dan bentuk seni
yang sudah lama berkembang di masyarakat setelah terlebih dahulu dimuati
nilai-nilai keislaman. Misalnya seni ukir, yang pada jaman pra
Islam motifnya penuh dengan ukiran makhluk bernyawa (manusia dan binatang),
kemudian diubah dengan ukiran bermotif bunga, dedaunan dan lainnya yang tidak
bernyawa. Dalam soal pakaian, ia menciptakan bentuk atau mode baju yang lebih
dikenal dengan baju Takwa. Seni batik yang pada
jaman pra Islam diwarnai dengan motif illustrasi gambar burung, yang
dalam bahasa kawinya disebut kukila, lalu diberi makna sesuai
dengan yang dikehendaki Islam. "Ku" berasal dari bahasa arab Qu
yang berarti jagalah, dan "kila" dari bahasa arab Qila,
berarti yang diucapkan. Dengan demikian, gambar burung
"kukila" mengandung pesan, bahwa seseorang hendaklah mampu menjaga
lisannya.
e.
Sastra Bercorak Tasawwuf
Di
Luar Jawa
Antara abad 15-17,
di Sumatra berkembang karya sastra dan ilmiah bercorak tasawwuf dari ulama
besar masa kesultanan Aceh Darussalam yang sangat besar pengaruhnya dalam
perkembangan corak pemikiran keislaman (tasawwuf) di Indonesia.
1). Karya Hamzah
Fansuri : Asrorul ‘Arifin fi Bayani as-Suluk wat Tauhid, dan Syair
Perahu. Keduanya berisi ajaran ilmu kalam (teologi) dan tasawwuf menurut
faham Wahdatul Wujud. Karya
lainnya: Syair Dagang, Syair Jawi, Syarabul ‘Asyikin.
2). Karya
Syamsuddin as-Sumatrani: Mir’atul Mu’minin, berisi tanya jawab soal ilmu
kalam.
3). Karya Nuruddin
ar-Raniri (ulama’ Ahlis-Sunnah abad 17) : As-Shirotul Mustaqim
(fiqih), Bustanus-Salatin (politik, tuntunan bagi Raja), Tibyan fi
Ma’rifatil Adyan (bantahan terhadap faham Wahdatul Wujud-nya Hamzah
Fansuri Cs).
4). Abdurrauf
Singkel : pengembang tarekat Syattariyah, ia menghidupkan kembali faham
Hamzah Fansuri, terutama teori Martabat Tujuh. Pengaruhnya sampai ke
Jawa melalui muridnya, yakni syekh Abdul
Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya Jawa Barat.
Karya dan ajaran
keempat ulama tersebut mempengaruhi faham tasawwuf di Jawa, yakni faham ahlussunnah
ala Walisongo, dan faham manunggaling
kawulo-gusti ala Sekh Siti Jenar.
Di Sulawesi, muncul
Syekh Yusuf Makassar (abad 17) dengan 20 buah judul karya tulis bercorak
tasawwuf faham Ahlussunnah.
Di Kalimantan,
muncul syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (abad 19), penulis kitab fiqih : Sabilul
Muhtadin.
Di Jawa : Suluk,
Wirid, Primbon
Dalam bidang
sastra, di Jawa pada abad 16-18, muncul tiga kitab karya sastra yang berisi
ajaran Islam bercorak tasawuf, yakni Kitab
Suluk, Wirid dan Primbon, yang diduga terkait dengan karya ulama Sumatera.
Kitab Suluk, yaitu karya
tulis berbentuk puisi, berbahasa jawa-tengahan,
berisi ajaran tasawuf, sebagiannya terpengaruh oleh Syair-syair karya
Hamzah Fansuri. Misalnya kitab Suluk Wujil, suluk Malang
Sumirang, suluk Syekh Malaya, suluk Sukarso, dll.
Kitab Wirid, yaitu karya tulis
dalam bentuk ulasan bebas (prosa), berisi ajaran tasawwuf dan akhlak. Misalnya Het
Book van Bonang (kitab Sunan Bonang), Serat Wirid Hidayat Jati
(karya Ronggowarsito) .
Sedangkan Kitab
Primbon yaitu karya tulis berbentuk ulasan bebas (prosa), berisi
kumpulan dari berbagai aspek ajaran Islam (tauhid, syariat, akhlak-tasawwuf,
pengobatan, ramalan dan lain-lain. Misalnya buku Primbon Abad ke-16 (Een
Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw)
yang diduga peninggalan Sunan Bonang.
Pada perkembangan
selanjutnya, di abad 19, muncul Syekh Muhammad Nawawi al-Banteni yang menjadi
ulama besar di jazirah Arab saat itu. Karyanya berjumlah 26 buah judul, yang
terkenal berjudul Tafsir Al-Munir, ‘Uqudul Lujain, dll.
|
Bangunan
Masjid-masjid khas Indonesia, terutama yang dirancang para Walisongo, merupakan
bentuk akulturasi (pembauran) dengan bangunan candi, pura, stupa. Memiliki
ciri-ciri dan corak khusus, antara lain :
1). Atap
Masjid
Atapnya bersusun
(tumpang) dan berbentuk ,eruncing ke atas. Ada yang bersusun tiga sebagai
simbol tingkatan dalam beragama: Iman, Islam, Ihsan, atau syari'at,
thariqot, dan haqiqat. Di atasnya ada mustoko, sebagai simbol Ma’rifat. Seperti di Masjid Agung Demak, masjid Agung
Kraton (Jogjakarta, Surakarta, dll), dan masjid-
masjid kuno di Jawa. Ada yang
beratap seperti tumpeng, seperti masjid-masjid di daerah Banten.
Masjid beratap Kubah
(asal bangunan Arab) tidak ditemukan pada masjid kuno khas Indonesia,
tetapi perkembangan modern. Seperti masjid Baiturrahman di kota
Banda Aceh, masjid Syuhada’ Jogjakarta, Istiqlal di
Jakarta. dll. Tetapi puncaknya tetap berbentuk runcing mengarah ke atas.
Atap atau kubah
yang meruncing ke atas terkandung makna mengarah ke satu tujuan.
Sebagai simbol bahwa segala bentuk usaha dan ibadah agar diarahkan kepada yang
“Tunggal” yang di atas, yakni Alloh I.
2).
Mihrob
Di bagian barat ada bangunan menonjol ke luar
mengarah ke kiblat berfungsi sebagai mihrob (pengimaman).
Terkandung makna persatuan umat Islam, yakni meskipun berbeda dari berbagai penjuru, hendaknya tetap
berkiblat/berpedoman pada satu akidah Tauhid (dilambangkan Baitulloh).
3). Menara
Masjid
Menara berfungsi
sebagai tempat mu’adzzin menyuarakan adzan dan iqomat,
juga tempat memukul kenthongan dan bedug, pada
awalnya tak ditemui di masjid-masjid Jawa, kecuali masjid di Kudus dan di
Banten.
|
4). Bedug dan
Kentongan.
Selain
Adzan-Iqomat, Bedug dan Kenthongan dimaksudkan sebagai alat
memanggil sholat, terutama bagi yang rumahnya jauh dari masjid. Mengingat saat
itu belum ada pengeras suara, speaker.
Menurut kisah,
untuk memanggil orang sholat, Sunan Kalijaga memerintah-kan Sunan
Pandanarang agar membuat bedug dan kentongan. Kentongan
jika ditabuh berbunyi tong tong tong, sebagai lambang "Masjid
masih kosong" (bahasa jawanya kothong) dan Bedug
berbunyi deng deng deng, sebagai
simbol "Masjid masih muat" (bahasa jawanya sedheng).
5). Lokasi Masjid
Letaknya di ibukota
kerajaan atau kadipaten,. Biasanya didirikan sedekat mungkin dengan istana
(kantor pemerintahan), menghadap alun-alun Kraton. Makna simbolik
(filosofi)-nya : Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat
dan Rajanya, sedangkan Masjid adalah tempat bersatunya
rakyat dan Rajanya dengan Tuhannya. Yakni rakyat (makmum) bersama-sama dengan
Raja (imam) menghadap kepada Alloh.
6). Makam
Bangunan makam
biasanya terletak di sebelah barat masjid dan sekitarnya. Fungsinya sebagai Dzikrul
maut (mengingatkan bahwa setiap orang hidup pasti akan mati, dan
setelah hidup di dunia ini ada kehidupan lagi di akhirat yang lebih langgeng).
Untuk itu, perlu memperbanyak ibadah dan
amal sholih, sebagai “Sangu” di alam akhirat.
C. APRESIASI TERHADAP
UPACARA TRADISI LOKAL
1.
Mensuriteladani Dakwah Walisongo
Sebelum Islam datang, berbagai
tradisi, upacara dan adat istiadat sebagai pengaruh dari ajaran hindu, buda dan
aliran kepercayaan berkembang subur secara turun temurun dan sulit
dihilangkan. Mulai dari urusan kelahiran,
aktifitas sehari-hari (usaha, panen, khitanan, perkawinan, pembangunan, dll)
sampai urusan kematian, selalu ada upacara dan kenduren-nya,
lengkap dengan ubo rampe (sesajen) dan pembacaan mantera-mantera.
Tradisi dan upacara tersebut, jika
dipandang dari segi agama Islam, tentu ada yang sesuai dan ada yang
bertentangan dengan aqidah Islam. Melihat kenyataan seperti ini, para muballigh
Walisongo, terutama kelompok Sunan Kalijaga, sungguh sangat cerdas
dan bijaksana. Mereka berdakwah dengan pendekatan budaya. Mereka
tidak antipati terhadap tradisi dan adat istiadat lama yang nampak bertentangan
dengan aqidah islam dan sudah mendarah daging itu. Jika diberantas, masyarakat
akan membenci dan semakin menjauh.
Tradisi, adat istiadat dan upacara
yang nampak bertentangan itu tidak diberantas seketika, tetapi tetap
dilestarikan, sambil diubah sedikit-demi sedikit dengan disisipi nilai-nilai
keislaman. Misalnya upacara adat atau kenduren istilahnya diganti
dengan “Selamatan”; pembacaan mantera diganti dengan
bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, kalimat thayyibah (tahlilan) dan doa-doa Islam; sesajen
untuk roh halus atau roh nenek moyang diganti dengan makanan atau
berkat yang disajikan/disuguhkan sebagai shodaqoh kepada orang
hidup yang mengikuti upacara tersebut. Adapun sesajen penting yang
berupa aneka ragam jajan pasar
diganti dengan tiga jenis makanan : ketan, kolak dan apem, dengan
diberi makna baru. Ketiga nama makanan tersebut diambil dari bahasa arab yang
diucapkan secara keliru oleh masyarakat jawa. Kata ketan dari
bahasa arab Khatha-an yang berarti kesalahan atau dosa.
Kata Kolak dari bahasa arab qaala yang berarti berkata
atau berdoa; dan kata Apem
dari kata Afwun yang berarti ampunan. Dari ketiga
nama makanan tersebut terkandung suatu ajaran, bahwa manusia tidak dapat
lepas dari dosa dan salah. Oleh karena itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah
untuk memohon ampunan-Nya.
Dengan metode dakwah seperti itu,
maka masyarakat dan budayanya secara tidak sadar dapat diislamkan. Itulah
rahasianya, kenapa mayoritas penduduk Jawa, terutama yang tinggal di daerah
basis hindu-budha, berduyun-duyun masuk Islam dalam jangka waktu yang sangat
singkat.
Atas dasar pengalaman dakwah
Walisongo di atas, kita seharusnya mencontoh mereka dalam mensikapi berbagai
upacara tradisi dan adat istiadat lokal di daerah kita. Kita tidak boleh
langsung bersikap antipati dan berkepala batu, lalu menuduhnya bid’ah,
syirik, kafir, haram, masuk neraka, sesat dan sejenisnya,
tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan dampaknya atau untung-ruginya bagi
kesuksesan dakwah Islamiyah jangka panjang. Akan tetapi, kita harus bersikap cerdas
dan bijaksana, antara lain dengan pedoman berikut:
a. Jika upacara, tradisi, atau adat
istiadat lokal yang nampak tidak bertentangan dengan unsur aqidah Islam, hendaknya
disikapi dengan penuh penghormatan, dan kalau perlu dikembangkan dan
dilestarikan sebagai aset budaya bangsa. Bahkan dapat dijadikan sarana
berdakwah.
b. Jika hal itu nampak bertentangan
dengan unsur aqidah Islam, baik secara terang-terangan maupun sembunyi,
hendaknya tidak disikapi secara reaktif, antipati, bertindak destruktif
(merusak) dan main hakim sendiri. Akan tetapi tetap bersikap toleran dan
simpatik, sambil dicarikan jalan keluarnya agar tidak bertentangan dengan
Aqidah Islam, dengan menggunakan metode, pendekatan dan cara halus seperti yang
dilakukan oleh Walisongo. Misalnya dipandang sebagai bagian dari kreasi budaya
bangsa dan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, lalu disisipi nilai-nilai
keislaman, diubah sedikit demi sedikit, ditafsiri dan dimaknai secara baru,
dicarikan dalil-dalil naqli dan aqli, sehingga tradisi tersebut menjadi sebuah
tradisi lokal yang bernafaskan Islam
2. Beberapa
Contoh Tradisi Lokal Yang Bernafaskan Islam
1. Selamatan / Kenduren setiap ada
hajat seperti ingin pindah rumah, pembangunan, panenan (sedekah bumi), naik
pangkat, pelantikan, wisuda,
serah-terima jabatan, sembuh dari sakit, mengadakan pertunjukan, dan lain-lain.
Acaranya antara lain : pembacaan istighotsah, tahlilan, yasinan, dzibaan,
khataman Al-Qur’an, dan doa-dzikir lainnya.
2. Berkaitan dengan kehamilan :
upacara hamil 3 bulan; hamil 4 bulan; hamil 7 bulan (mitoni/tingkepan); hamil 9 bulan (mrocoti). Acaranya antara lain
pembacaan surat Yusuf dan Maryam, khataman, tahlilan, pengajian, dan doa-dzikir
lainnya.
3. Berkaitan dengan kelahiran :
menanam ari-ari, mengadzani telinga kanan dan meng-iqomati telinga kiri,
Brokahan (selamatan kelahiran bayi), sepasaran, selapanan, puputan (copot
puser), jagong bayen, pemberian nama, aqiqoh, khitanan, mandap siti (turun
tanah).
4. Berkaitan dengan pernikahan:
lamaran, peningsetan, midodareni (mandi calon penganten), akad nikah, resepsi,
sepasaran (ngunduh mantu).
5. Berkaitan dengan kematian :
tahlilan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, haul, ziarah kubur, kirim
pahala/doa, nyadran bulan ruwah, dll.
6. Berkaitan dengan PHBI : Maulid
Nabi, Isro’-Mi’roj, Nuzulul Qur’an, Unjung-unjung (shilaturrahmi hari raya),
syawalan, Qurban, Muharrom (syuro), Nisfu Sya’ban, Sekaten, Grebeg (mengarak
nasi tumpeng gunungan dalam rangka
maulud Nabi, besar, poso, syawal).
7. Berkaitan dengan Majlis dzikir
yang ditradisikan misalnya sholawatan (dzibaan, berjanjen, nariyah), yasinan,
istighotsahan, manaqiban, majlis semaan Al-Qur’an, dan sejenisnya.
Dan masih banyak tradisi-tradisi
lain seperti peringatan ulang tahun, upacara bendera, rebo kasan, dan
sejenisnya.
UJI KOMPETENSI
1. QS Al-Isro’ : 70
menegaskan bahwa Alloh menjadikan manusia sebagai makhluk terunggul. Kenapa
demikian! Jelakan alasannya!
2. Jelaskan
terjadinya Akulturasi antara budaya lokal dan budaya Islam di Indonesia!
3. Tulislah sebuah
hadis Nabi yang mendorong kaum muslimin untuk mengembangkan seni budayanya!
4. Dari mana asal
usul wayang! Dan berfungsi sebagai apa!
5. Apa jasa dan
sumbangan Sunan Kalijaga dan Walisongo dalam mengembang-kan seni Wayang!
6. Sebutkan 3
cerita / lakon carangan hasil
gubahan Walisongo!
7. Sebutkan 3 jenis
tembang mocopat beserta penciptanya!
8. Sebutkan 3
tembang dolanan bocah karya Sunan Giri!
9. Apa yang Anda ketahui
tentang kesenian Hadhroh dan al-Banjari!
10. Apa jasa Sunan
Kalijaga dalam seni ukir dan busana?
11. Sebutkan 4
ulama besar dari Aceh Darussalam yang berjasa dalam pengembangan sastranya!
12. Ke-4 ulama
tersebut perpengaruh terhadap munculnya dua faham tasawwuf di Jawa. Sebutkan !
13. Sebutkan 3
jenis kitab karya sastra di Jawa, dan jelaskan perbedaannya!
14. Sebutkan 6 ciri
bangunan Masjid di Jawa sebagai hasil akulturasi budaya!
15. Jelaskan makna
simbolik dari atap Masjid bersusun tiga dan mustoko!
16. Jelaskan asal
usul Kentongan dan Bedug, disertai makna simboliknya!
17. Bangsa
Indonesia, terutama Jawa, sangat antusias melestarikan tradisi lokal. Bagaimana
sikap Walisongo terhadapnya! Jelaskan!
18. Beri contoh
jasa Walisongo (Sunan Kalijaga) dalam mengislamkan upacara-tradisi lokal!
19. Upacara -
tradisi lokal terkadang bertentangan dengan aqidah Islam. Apa yang harus Anda
lakukan menghadapi kenyataan itu! Jelaskan!
20. Sebutkan
masing-masing 3 contoh tradisi lokal bernafaskan Islam yang berkaitan dengan :
a. kehamilan ? d. pernikahan ?
b. kelahiran ? e. PHBI ?
c. kematian ? f. majlis dzikir ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar