Senin, 01 November 2021

Bagian 2 . KEHADIRAN ISLAM MENDAMAIKAN BUMI NUSANTARA


KD: 3.10. Memahami sejarah tradisi Islam Nusantara

KD: 4.10. Menyajikan sejarah dan perkembangan tradisi Islam Nusantara

=================================


MENELUSURI TRADISI ISLAM DI NUSANTARA


A.  MANUSIA ADALAH MAKHLUK BERBUDAYA

Kelebihan manusia diatas makhluk lain terletak pada kemampuannya dalam menciptakan kebudayaan dan peradabannya.

QS At-Tin ayat 4 dijelaskan, bahwa manusia adalah makhluk yang terbaik bentuk ciptaannya (Ahsanu Taqwim), baik dari segi fisik (raga) maupun psikhis (jiwa). Secara kejiwaan, Allah melengkapi manusia dengan akal dan nafsu secara seimbang, sehingga muncul dari diri manusia tiga daya atau potensi yang meliputi cipta, rasa dan karsa. Dengan ketiga potensi tersebut, maka manusia mampu melahirkan kebudayaan dan peradabannya, sehingga mengantarkannya menjadi makhluk yang terunggul dan terhormat diatas makhluk Allah lainnya.

  

Terjadinya Akulturasi Budaya di Nusantara

Sejak dulu, bangsa Indonesia kaya dengan kreasi budaya (tradisi), baik yang berupa karya seni (seni budaya) maupun upacara adat. Agama Islam masuk ke Indonesaia pada akhir abad ke-7 dan berkembang pesat sejak abad ke-13, atas peran para pedagang muslim dan muballigh yang berasal dari bangsa arab, gujarat dan persia. Sementara itu, budaya dan tradisi lokal bangsa kita tersebut tetap berjalan seiring dengan masuknya budaya dan tradisi Islam ke Nusantarak.  

Setidaknya, budaya dan tradisi Islam yang dibawa oleh ketiga bangsa tersebut sedikit banyak turut mewarnai budaya dan tradisi lokal (Nusantara), sehingga terjadinya akulturasi  (pembauran) di bidang budaya dan tradisi ini tidak dapat dihindari. Tidak menutup kemungkinan bahwa budaya dan tradisi yang satu mendominasi (menguasai) yang lain, yang pada akhirnya lahirlah  budaya dan tradisi baru, yakni budaya dan tradisi Islam Nusantara, atau Budaya dan Tradisi Lokal yang Bernafaskan Islam. 

 

B. SENI BUDAYA LOKAL BERNAFASKAN ISLAM

 Yang dimaksud dengan Seni Budaya Lokal Bernafaskan Islam ialah  segala bentuk kesenian yang berkembang di Indonesia yang dipengaruhi & memiliki nilai-nilai keislaman. .

Seni budaya banyak cabang dan macamnya. Diantaranya adalah seni suara, seni musik, seni tari, seni sastra, pertunjukan, seni lukis, seni pahat dan ukir, seni pakaian,  seni kaligrafi, seni arsitektur-bangunan, dan lain-lain.  

1. Wayang dan Tembang Mocopat

Wayang

Asal usul Wayang berasal dari India yang digunakan sebagai media pengajaran agama Hindu yang bersumber dari kitab Mahabarata.

Pada abad -15, seni Wayang diperbaiki dan dikembangkan dalam bentuk baru oleh para muballigh “Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, untuk dijadikan sebagai metode dakwah yang cukup efektif. Sumbangan Sunan Kalijaga antara lain menambah perangkat debog (batang pisang), keber, blencong atau dian, dan penyusunan cerita-cerita carangan, dan lain-lain.

Cerita (=lakon) wayang  yang tadinya diambil dari kitab suci Mahabarata dan Ramayana tetap dilestarikankemudian Sunan Kalijaga menyelipinya dengan nilai-nilai simbolik yang bernafaskan islam. Bahkan diganti dengan cerita atau lakon carangan buatan sendiri. Misalnya lakon Dewa Ruci, Jimat kalimosodo, Petruk dadi Ratu, Semar ambarang Jantur, Mustaka Weni, Pendowo Limo, dan lainnya.

5 orang tokoh dalam lakon Pendowo Lima merupakan simbol Rukun Islam. Tokoh Puntadewa (simbol Syahadat)Wrekudara atau Bima (simbol Shalat), Arjuna (simbol zakat), dan tokoh kembar Nakula-Sadewa (simbol Puasa dan Haji).

Lakon wayang Jimat Kalimasada merupakan cerita yang dihubungkan dengan ketauhidan, yakni Kalimat Syahadat.

Para “Dewa” dalam dunia wayang tidak dipandang sebagai Dewa setingkat Tuhan, akan tetapi dimaknai sebagai “manusia istimewa” yang silsilahnya sampai kepada Nabi Adam.

Nama dan istilah dalam wayang dimasuki dengan unsur-unsur keislaman. Misalnya istilah “Dalang” diambil dari bahasa arab “Dalla”, artinya yang menunjukkan. Demikian pula nama “Petruk”, berasal dari kata “Fatruk”, artinya maka tinggalkan. “Bagong”, dari kata “Baghoo” artinya lacut, durhaka, zhalim“Semar” dari kata “Syimar”, artinya arif dan waspada.  (Ismunandar, K., 1988 ; 95-103).

Tembang Mocopat

 Dalam pementasan wayang, biasanya diselilingi dengan menyanyikan Tembang Mocopat.  Seni suara ini muncul di Jawa sekitar abad ke-15 dan 16 sebagai kreasi dari Walisongo. Syair yang dilagukan berisi ajaran Islam, terutama tauhid, akhlak dan tasawwuf. Tembang Mocopat meliputi tembang : Dandanggula (karya Sunan Kalijaga), Asmaradana dan Pucung (Sunan Giri), Durma (Sunan Bonang), Maskumambang dan Mijil (Sunan Kudus), Sinom dan Kinanti (Sunan Muria), Pangkur (Sunan Drajat).

Selain itu, ada tembang dolanan bocah, yaitu nyanyian untuk anak-anak yang penuh dengan nilai-nilai pendidikan Islam

Misalnya tembang dolanan bocah karya Sunan Giri seperti tembang Lir-Ilir, Sluku-Sluku Bathok, Cublak-cublak Suweng, Gendi Gurit, Jamuran, Jitungan, dll,

 

2.  Gambus, Kasidah, Hadhrah, Al-banjari, dan Qiro’ah

 Musik gambus berasal dari jazirah arab. Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair-syair berbahasa arab, terkadang juga syair berbahasa Indonesia. Alatnya meliputi : kecapi petik, gambus, rebana kecil, dan marawis.

Qosidah artinya puisi. Dalam hal ini dipahami sebagai seni suara yang bernafaskan Islam yang lagunya diambil dari syair-syair berbahasa arab dari kitab qasidah “Al-Barzanji, dan kitab qasidah lainnya, terutama yang berisi sholawat Nabi, dan diselipi ajaran moral. Alat musiknya seperti gambus.

Bahkan, group Qosidah Modern seperti  Group Nasida Ria dari Semarang, melengkapi dengan peralatan musik elektronik modern.  Syair lagunya pun bervariasi, selain sholawat Nabi  adalah syair-syair berbahasa Indonesia yang berisi ajaran keislaman, terutama akhlak.

Hadhroh dan Al-Banjari sebagian besar alatnya dari rebana. Syairnya diambil dari kitab qasidah“Al-Barzanji“Ad-Dibaiy, dan sya'ir sholawat Nabi.

Sedangkan tentang seni melagukan bacaan Al-Qur’an dengan suara merdu atau Qiro’ah, merupakan seni budaya Islam yang memiliki  7 versi lagu sebagai kreasi dari orang dari negeri Hijaz, Mesir, Persia, Turki, dan negeri arab lainnya. Ke-7 versi lagu ini meliputi lagu Bayati,  Shoba, Hijaz, Nahawand, Rost, Sikah dan Jiharkah. Seni ini semakin terkenal luas setelah diadakannya event perlombaan MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an).

 

3. Seni Tari Zapin dan Tari Sufi Seudati

Tari Zapin diperagakan dengan gerak kaki dan tangan yang indah dan lincah. Tari ini muncul di daerah Riau Sumatera untuk mengiringi irama musik gambus, kasidah dan hadhroh. Penarinya semuanya lelaki.

Tari Sufi Seudati berasal dari tarian para sufi di Aceh. Penarinya semua lelaki. Bunyi musiknya dari tubuh penari sendiri seperti menepuk tangan, dada, dan mengertakkan jari.

 

4.  Seni Lukis, Pahat, Ukir, Batik, Busana

Sebelum datangnya Islam, ketiga seni tadi sudah berkembang di Nusantara untuk kepentingan agama Hindu-Budha dan diwarnai dengan corak gambar makhluk bernyawa seperti binatang, manusia, & dewa. Diantara hasilnya berupa: Patung dewa, ukiran /patung binatang, relif di candi, ukiran di gapura, dll.  Setelah Islam masuk ke Nusantara, lalu diubah menjadi kesenian Lukis-Pahat-Ukir dengan motif tetumbuhan, pepohonan, benda mati, dan ukiran kaligrafi arab (ayat Qur’an & Hadis).

Pakaian asli penduduk di Indonesia biasanya membuka aurat, misalnya di Jawa, wanitanya memakai Kemben. Setelah Islam masuk, seni berbusana menjadi terpengaruh, yakni sopan dan menutup aurat. Maka, muncullah mode pakaian seperti  Baju Takwa, Baju Teluk BelangaKerudungJilbab, Songkok/Kopiahblangkon, baju surjan, serban, dll.

 

5.  Karya Sastra Bercorak Tasawwuf

1). Karya Sastra Tasawwuf Di Luar Jawa

Disekitar abad 15 sampai abad 17, di Sumatra berkembang karya sastra dan ilmiah yang bercorak tasawwuf dari ulama besar pada masa kesultanan Aceh Darussalam. Diantaranya karya sastra sebagai berikut:

a. Karya Hamzah Fansuri : kitab Asrorul ‘Arifin fi Bayani as-Suluk wat Tauhid, dan Syair Perahu. Keduanya berisi ajaran ilmu kalam (teologi) dan ajaran tasawwuf menurut faham  Wahdatul Wujud. Karya lainnya: Syair Dagang, Syair Jawi, Syarabul ‘Asyikin.

b. Karya Syamsuddin as-Sumatranikitab Mir’atul Mu’minin, berisi tanya jawab soal ilmu kalam.

c. Karya Nuruddin ar-Raniri (ulama’ Ahlis-Sunnah abad 17) : As-Shirotul Musta-qim (fiqih), Bustanus-Salatin (politik, tuntunan bagi Raja), Tibyan fi Ma’rifatil Adyan (bantahan terhadap faham Wahdatul Wujud-nya Hamzah Fansuri Cs).

d. Abdurrauf Singkel : pengembang tarekat Syattariyah. Dia menghidupkan kembali faham Hamzah Fansuri, terutama teori Martabat Tujuh. Pengaruh ajaran Abdurrauf Singkel sampai ke pulau Jawa melalui muridnya yang bernama syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya Jawa Barat.  

Karya dan ajaran keempat ulama tersebut mempengaruhi faham tasawwuf di Jawa, yakni faham ahlussunnah ala Walisongo, dan faham manunggaling kawulo-gusti ala Sekh Siti Jenar.

Di Sulawesi, muncullah Syekh Yusuf Makassar (abad 17) dengan 20 buah judul karya tulis bercorak tasawwuf faham Ahlussunnah.

Di Kalimantan, muncullah syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (abad 19), penulis kitab fiqih : Sabilul Muhtadin.

 

2). Karya Sastra Tasawwuf Di Jawa : Suluk, Wirid, Primbon

Dalam bidang sastra, di Jawa pada abad 16-18, muncul 3 kitab karya sastra yang berisi ajaran Islam bercorak tasawuf, yakni  Kitab Suluk, Wirid dan Primbon, yang diduga terkait dengan karya ulama Sumatra.  

Kitab Suluk, yaitu karya tulis  berbentuk puisi, berbahasa jawa-tengahan, berisi ajaran tasawuf, yang sebagiannya terpengaruh oleh Syair-syair karya Hamzah Fansuri. Misalnya kitab Suluk Wujil, suluk Malang Sumirang, suluk Syekh Malaya, suluk Sukarso, dll.

Kitab Wirid, yaitu karya tulis dalam bentuk ulasan bebas (prosa), berisi ajaran tasawwuf dan akhlak. Misalnya Het Book van Bonang (kitab Sunan Bonang), Serat Wirid Hidayat Jati (karya Ronggowarsito) .

Sedangkan Kitab Primbon yaitu karya tulis berbentuk ulasan bebas (prosa), berisi kumpulan dari berbagai aspek ajaran Islam : tauhid, syariat, akhlak-tasawwuf, pengobatan, ramalan dan lain-lain. Misalnya kitab Primbon Abad ke-16 (Een Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw,  yang diduga merupakan peninggalan Sunan Bonang.

Pada perkembangan selanjutnya, di abad 19, muncul Syekh Muhammad Nawawi al-Banteni yang menjadi ulama besar di jazirah Arab saat itu. Karyanya berjumlah 26 buah judul, diantara kitabnya yang terkenal berjudul Tafsir Al-Munir, ‘Uqudul Lujain, Nashoihul ‘Ibad, dll..

 

7. Arsitektur : Bangunan Masjid 

Bangunan Masjid-masjid khas di Nusantara/Indonesia, terutama yang dirancang para Walisongo, merupakan bentuk akulturasi (pembauran) dengan bentuk bangunan candi, pura dan stupa. Memiliki ciri-ciri dan corak khusus, antara lain : 

1). Atap Masjid

Atapnya bersusun (tumpang) dan berbentuk meruncing ke atas. Ada yang bersusun tiga sebagai simbol tingkatan dalam beragama:

Iman, Islam, Ihsan, atau syari'at, thariqot, dan haqiqat. Di atasnya ada mustoko, sebagai simbol Ma’rifat.  Seperti di Masjid Agung Demak, masjid Agung Kraton (Jogjakarta, Surakarta, dll), dan masjid-masjid kuno di Jawa. Ada yang beratap seperti tumpeng, seperti masjid-masjid di daerah Banten. 

Masjid beratap Kubah (berasal dari bangunan Arab) tak ditemukan pada masjid kuno khas Nusantara, tetapi hasil rancangan bangunan modern seperti masjid Baiturrahman di Banda Aceh, masjid Syuhada’ di Jogjakarta, Istiqlal di Jakarta. dll. Namun puncaknya tetap berbentuk runcing mengarah ke atas.

Atap atau kubah yang meruncing ke atas terkandung makna mengarah ke satu tujuan. Sebagai simbol bahwa segala bentuk usaha dan ibadah agar diarahkan kepada yang “Tunggal”, yakni Alloh SWT. 

2). Mihrob

Di bagian kiblat (barat) ada bangunan yang menonjol keluar dan mengarah ke kiblat, yang berfungsi sebagai mihrob (pengimaman), adalah terkandung makna persatuan umat Islam, yakni meskipun berbeda dari  berbagai penjuru, hendaknya tetap berkiblat/berpedoman pada satu akidah Tauhid (:dilambangkan Baitulloh).   

3). Menara Masjid,  Bedug dan Kentongan.

Menara berfungsi sebagai tempat mu’adzzin menyuarakan adzan dan iqomatdan juga sebagai tempat memukul kenthongan dan bedug, pada awalnya tidak ditemukan di masjid-masjid Jawa, kecuali masjid di Kudus dan Banten. Bentuk bangunan Menara Kudus mirip Candi di Jawa Timur dan Pura di Bali.

Tentang Bedug dan Kentongan. Selain Adzan-Iqomat, Bedug dan Kenthongan dimaksudkan sebagai alat memanggil sholat, terutama bagi yang rumahnya jauh dari masjid. Mengingat saat itu belum ada pengeras suara /speaker.

Dikisahkan, bahwa untuk memanggil orang sholat, Sunan Kalijaga memerintahkan Sunan Pandanarang agar membuat bedug dan kentonganKentongan jika ditabuh berbunyi tong tong tong, mengandung arti bahwa "Masjid masih kosong" (bahasa jawanya kothong) dan Bedug berbunyi deng deng deng, mengandung arti bahwa "Masjid masih muat" (bahasa jawanya sedheng). 

4). Lokasi Masjid

Letaknya di ibukota kerajaan atau kadipaten. Lokasinya ditempatkan sedekat mungkin dengan Istana (kantor pemerintahan), menghadap alun-alun Kraton. Makna simbolik (filosofi)-nya : Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat dengan Rajanya, sedangkan Masjid adalah tempat bersatunya rakyat & Raja dengan Tuhannya. Maksudnya: rakyat (makmum) bersama-sama dengan Raja (imam) menghadap kepada Alloh. 

5). Makam

Bangunan makam biasanya terletak di sebelah barat masjid dan sekitarnya. Fungsinya untuk Dzikrul maut (mengingatkan bahwa setiap orang hidup pasti akan mati, dan setelah hidup di dunia ini ada kehidupan lagi di akhirat yang lebih langgeng). Untuk itu, perlu  memperbanyak ibadah dan amal sholih, sebagai “Sangu” di alam akhirat. 

 

C. APRESIASI TERHADAP UPACARA DAN TRADISI LOKAL 

1.  Mensuriteladani Dakwah Walisongo

Sebelum Islam datang, berbagai tradisi, upacara dan adat istiadat sebagai pengaruh dari ajaran hindu, budha dan aliran kepercayaan berkembang subur secara turun temurun dan sulit dihilangkan.  Mulai dari urusan kelahiran, aktifitas sehari-hari (usaha, panen, khitanan, perkawinan, pembangunan, dll) sampai urusan kematian, selalu ada upacara dan kenduren-nya, lengkap dengan ubo rampe (sesajen) dan pembacaan mantera-mantera.

Tradisi dan upacara tersebut, jika dipandang dari sudut agama Islam, tentu ada yang sesuai dan ada yang bertentangan dengan aqidah Islam. Melihat kenyataan seperti ini, para muballigh Walisongo, terutama kelompok Sunan Kalijaga, sungguh sangat cerdas dan bijaksana. Mereka berdakwah dengan pendekatan budaya. Mereka tidak antipati terhadap tradisi dan adat istiadat lama yang nampak bertentangan dengan aqidah islam dan sudah mendarah daging tersebut. Jika tradisi dan adat istiadat tsb diberantas, maka masyarakat akan membenci dan semakin menjauhi para muballigh.  

Tradisi, adat istiadat dan upacara yang nampak bertentangan itu tidak diberantas seketika, tetapi tetap dilestarikan, sambil diubah sedikit-demi sedikit dengan disisipi nilai-nilai keislaman. Misalnya:

1). upacara adat atau kenduren, istilahnya diganti dengan “Selamatan”;

2). Pembacaan mantera diganti dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur'ankalimat thayyibah (tahlilan) dan doa-doa Islam;

3). sesajen untuk roh halus atau roh nenek moyang diganti dengan makanan atau berkat yang disuguhkan sebagai shodaqoh kepada orang yang mengikuti upacara tersebut;  

4) sesajen pokok yang berupa aneka ragam  jajan pasar diganti dengan tiga jenis makanan : ketan, kolak dan apem, dengan diberi makna baru. Ketiga nama makanan tersebut diambil dari bahasa arab yang diucapkan secara keliru oleh masyarakat jawa. Kata ketan dari bahasa arab Khatha-an yang berarti kesalahan atau dosa. Kata Kolak dari bahasa arab qaala yang berarti berkata atau berdoa; dan kata Apem  dari kata Afwun yang berarti ampunan.

Dari ketiga nama makanan tersebut terkandung suatu ajaran, bahwa manusia tidak dapat lepas dari dosa dan salah. Oleh karena itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah untuk memohon ampunan-Nya.   

Dengan metode dakwah seperti itu, maka masyarakat dan budayanya secara tidak sadar dapat diislamkan. Itulah rahasianya, kenapa mayoritas penduduk Jawa, terutama yang tinggal di daerah basis hindu-budha, mereka berduyun-duyun masuk Islam dalam jangka waktu yang sangat singkat.

Atas dasar pengalaman dakwah Walisongo di atas, maka kita seharusnya mencontoh mereka dalam mensikapi berbagai upacara tradisi dan adat istiadat lokal di Nusantara, terutama di daerah kita sendiri. Kita tidak boleh langsung bersikap antipati, berkepala batu dan menentangnya, lalu menuduhnya bid’ah, syirik, kafir, haram, masuk neraka, sesat dan sejenisnya, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan dampak negetifnya atau untung-ruginya bagi kesuksesan dakwah Islamiyah jangka panjang.

Sebaliknya, kita harus bersikap cerdas dan bijaksana, antara lain dengan pedoman berikut:

1). Jika upacara, tradisi, atau adat istiadat lokal yang nampak Tidak Bertentangan dengan unsur aqidah Islam, hendaknya disikapi dengan penuh penghormatan, dan kalau perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai aset budaya bangsa. Bahkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk berdakwah.

2). Jika tradisi & budaya lokal/nusantara tersebut nampak Bertentangan dengan unsur aqidah Islam, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyimaka hendaknya tidak disikapi secara reaktif, antipati, bertindak destruktif (merusak) dan main hakim sendiri. Akan tetapi kita tetap bersikap toleran dan simpatik, sambil dicarikan jalan keluarnya agar tidak bertentangan dengan Aqidah Islam, dengan menggunakan metode, pendekatan dan cara yang halus sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para muballigh Walisongo. Misalnya tradisi & budaya lokal tersebut dipandang sebagai bagian dari kreasi budaya bangsa, dan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, lalu disisipi nilai-nilai keislaman, diubah sedikit demi sedikit, ditafsiri dan dimaknai secara baru, kemudian dicarikan dalil naqli dan aqlinya, sehingga tradisi & budaya tersebut menjadi sebuah tradisi-budaya lokal/Nusantara yang bernafaskan Islam 

2.  Beberapa Contoh Upacara dan Tradisi Lokal Yang Bernafaskan Islam

1). Selamatan / Kenduren setiap ada hajatan seperti ingin pindah rumah, pembangunan, panenan (sedekah bumi), naik pangkat,  pelantikan, wisuda, serah-terima jabatan, sembuh dari sakit, mengadakan pertunjukan, dan lain-lain. Acaranya antara lain : pembacaan istighotsah, tahlilan, yasinan, dzibaan, khataman Al-Qur’an, dan doa-dzikir lainnya.   

2). Berkaitan dengan kehamilan, seperti upacara hamil 3 bulan; hamil 4 bulan; hamil 7 bulan (mitoni/tingkepan);  hamil 9 bulan (mrocoti). Acaranya antara lain pembacaan Al-Qur’an surat Yusuf dan Maryam, khataman, tahlilan, pengajian, dan doa-dzikir lainnya.    

3). Berkaitan dengan kelahiran, seperti menanam ari-ari, mengadzani telinga kanan dan meng-iqomati telinga kiri, Brokahan (selamatan kelahiran bayi), sepasaran, selapanan, puputan (copot puser), jagong bayen, pemberian nama, aqiqoh, khitanan, mandap siti (turun tanah).

4). Berkaitan dengan Pernikahan, seperti lamaran, peningsetan, midodareni (mandi calon penganten), akad nikah, resepsi, ngunduh mantu.   

5). Berkaitan dengan Kematian, seperti tahlilan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, haul, ziarah kubur, kirim pahala/doa, nyadran bulan ruwah, dll.

6). Berkaitan dengan PHBI, seperti Maulid Nabi, Isro’-Mi’roj, Nuzulul Qur’an, Unjung-unjung (shilaturrahmi hari raya), syawalan, Qurbanan, Muharrom (syuro), Nisfu Sya’ban, Sekaten, Grebeg (mengarak nasi tumpeng gunungan  dalam rangka maulud Nabi, besar, poso, syawal).

7). Berkaitan dengan Majlis dzikir yang ditradisikan misalnya sholawatan (dzibaan, berjanjen, nariyah), yasinan, istighotsahan, manaqiban, majlis semaan Al-Qur’an, dan sejenisnya.