KD : 3.12. Memahami sejarah perkembangan Islam di Nusantara
A. TEORI
MASUKNYA ISLAM PERTAMA KALI DAN CARA DAKWAH PARA ULAMA DI NUSANTARA
1. Teori Masuknya Islam ke Nusantara.
Para
sejarawan berbeda pendapat tentang proses awal masuknya Islam ke Nusantara. Ada
yang mengatakan abad ke-7 M, ada yang pada abad ke-13 M.
Menurut DR. Hamka dan Sayyid Naguib Al-Attas, yang
didukung dengan hasil keputusan seminar tentang sejarah masuknya Islam ke
Indonesia, tahun 1963 di Medan, dan seminar yang sama tahun 1978 di Aceh, bahwa
Agama Islam masuk pada abad ke-7 masehi atau abad ke-1 hijriyah,
semasa dengan dinasti Bani Umaiyah di Timur Tengah dan jaman keemasan Sriwijaya
di Palembang. Alasannya: para pedagang muslim biasa
berdagang sampai ke Persia, India, dan Cina. Sementara letak
Indonesia dengan selat Malaka-nya saat itu berada di jalur perdagangan
Internasional. Diperkuat pendapat J.C.van Leur, bahwa sejak tahun 674 M sudah
ada koloni-koloni orang Arab di barat laut Sumatara, yakni di kota Barus, daerah yang terkenal sebagai penghasil kapur barus.
Pendapat lain, Islam masuk abad ke-13 M, didasarkan pada
catatan perjalanan Marcopolo, seorang pelaut asal Venesia Italia, yang pernah
berkunjung di Perlak dan Aceh, bahwa abad itu sudah ada kerajaan Islam di sana,
yakni Samudera Pasai, yang diperintah seorang raja muslim, Marah Silu dengan
bergelar Al-Malikus Shaleh.
Jika memperhatikan temuan batu nisan makam milik Fathimah
binti Maimun bin Hibatullah di lokasi
"Kubur Panjang" di desa Leran Manyar Gresik, yang tertulis
bahwa ia wafat tahun 1082 M/495 H (abad 11 M), maka dapat disimpulkan bahwa
pada saat itu sudah ada koloni atau perkampungan muslim di Gresik dan daerah
lainnya. Dengan begitu,
Islam masuk ke Nusantara jauh sebelum abad ke-13 M, dan berkembang pesat pada
abad ke-13, setelah berdirinya Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Perlak.
Siapa yang menyebarkan Islam ke Nusantara?. Apakah orang
Arab, orang Persia, atau orang Gujarat? Dalam hal ini ada tiga teori :
a. Teori Persia.
Penemunya: P.A. Djayadiningrat. Pendapatnya: Islam
masuk Nusan-tara dibawa oleh para
pedagang dan ulama
dari Persia, dengan alasan ada unsur kesamaan dalam tradisi dan budaya,
seperti tradisi Asyura' (10 Muharam) untuk mengenang wafatnya Husein di
Karbala; kesama-an dalam ajaran antara Seh Siti Jenar dengan sufi asal Iran,
Al-Hallaj, yang mati digantung pada tahun 922 M; juga adanya kesamaan dalam
cara mengeja huruf hijaiyah, seperti jabar (fathah), jer
(kasroh), dan pes (dhommah).
b. Teori Gujarat
Penemunya: Snouck Hurgronje. Pendapatnya : Islam dibawa
masuk oleh para pedagang dan ulama dari Gujarat. Dengan alasan : Batu Nisan
beberapa makam tua seperti makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik dan makam
Al-Malikhus Sholeh di Sumatera didatangkan dari Gujarat India selatan. Selain
itu, madzhab syafi'i yang dianut mayoritas bangsa Indonesia adalah sama dengan
yang dianut oleh masyarakat Malabar
Gujarat.
c. Teori Mekah (Arab)
Penemunya: Prof. DR. Hamka. Pendapatnya: agama Islam
masuk dari Makkah dan Mesir pada abad ke-7 M, dibawa oleh para ulama dan
pedagang dari Arab. Alasannya: (1). Menurut laporan Ibnu Bathutoh
yang pernah singgal di Pasai, bahwa Samudera Pasai bermadzhab Syafii, yang saat
itu berkembang pesat di Mesir. (2).
Gelar para raja Samudera Pasai adalah sama seperti yang dipakai para Raja di
Mesir, yaitu Al-Malik. (3). Sebelum Ibnu Bathutoh singgah di Aceh, ada seorang
ulama besar yang mengajarkan ilmu tasawwuf di Arab (Mekkah-Mesir), namanya Sekh
Abu Mas'ud Abdullah Al-Jawi.
Masuknya Islam langsung dari Mekkah (Arab) ke Indonesia
tersebut melalui 2 rute :
1). Jalur utara
(Darat) : Dari Mekah, ke Medinah, Syria, Baghdad, Gujarat, Sri Langka, dan
terakhir ke Samudera Pasai.
2). Jalur selatan (Laut) : dari Mekah, ke Hadhromaut (Yaman selatan), terus menyeberang ke Gujarat, Srilangka, dan terakhir ke Samudera Pasai.
2. Cara-Cara Dakwah Islam Di Nusantara
Tidak dapat dipungkiri, Dakwah Islam di Nusantara adalah dengan cara damai, bukan dengan cara kekerasan. Dalam hal ini, peran dan jasa para pedagang sangat dalam penyebaran Islam pertama kali sejak abad ke-7 M. Proses Islamisasi mengalami perkembangan pesat sejak abad ke-13 M, melalui beberapa saluran atau cara, yaitu : 1) perdagangan, 2) perkawinan (soaial), 3) pendidikan pesantren, 4) ajaran tasawwuf, 5) seni budaya, dan 6) politik.
a. Melalui Cara Perdagangan
Para
pedagang muslim mula-mula berdatangan ke kota-kota pelabuhan (daerah pesisir).
Diantara mereka ada yang bertempat tinggal sementara dan ada yang menatap di
perkampungan tersendiri. Mereka setiap hari bergaul dan berbaur dengan para
pedagang pribumi dan penduduk sekitar pelabuhan. Lambat laun, Pergaulan dan
pembauran ini tberpengaruh terhadap kepercayaan dan agama penduduk pribumi. Mula-mula yang
menerima Islam, tentu saja, adalah para pedagang pribumi yang sering
berhubungan dengan mereka, lalu diikuti oleh pekerja, pembantu, dan penduduk sekitar. Jika yang
masuk Islam itu para adipati, bangsawan dan tokoh masyarakat, maka proses
islamisasi semakin cepat, karena keislaman mereka akan diikuti rakyat secara
luas. Kondisi ini bukan mustahil, karena Islam merupakan agama missi,
yang mendorong pengikutnya agar menyebarkannya kepada orang lain. Sebagaimana
sabda Nabi :
بَلِّغُوْا
عَنِّيْ وَلَوْ آيَةً
"Sampaikan
(ajaran Islam) dari-ku, sekalipun satu ayat".
b. Melalui Cara Perkawinan (sosial)
Para
pedagang muslim biasanya tidak membawa serta isteri dan anak-anaknya. Hal ini
mendorong mereka memperistri penduduk pribumi.
Calon
isterinya tentu disyahadat-kan atau diislamkan dulu. Jika tidak, perkawinannya
tidak sah. Islamnya isteri, paling tidak, akan diikuti oleh anak keturunannya,
yang lambat laun akan diikuti juga oleh keluarga dan kerabat dekat atau jauh.
Proses Islamisasi akan lebih sukses dan
menguntungkan dari segi strategi dakwah, ekonomi dan politik, jika Perkawinan
dilakukan oleh ulama, muballigh, penguasa muslim atau pedagang muslim, dengan wanita anak Bangsawan, Bupati, atau
Raja.
Cerita-cerita
babad, hikayat, dan sejarah menceritakan adanya perkawinan semacam ini.
Misalnya Sunan Ampel mengawini Nyi Ageng Manila, putri Bupati Tuban. Syeh Maulana Ishak
mengawini Dewi Sekardadu, puteri Raja Blambangan. Raden Patah bin Raja
Brawijaya V, diambil menantu oleh Sunan Ampel.
Melalui
perkawinan tersebut, Islam akhirnya berkembang dengan pesat, bahkan sampai menyusup masuk kedalam istana kerajaan.
c. Melalui Cara Pendidikan Pesantren
Sistim
pendikan pesantren sudah dikenal sejak jaman pra-Islam, yang disebut Mandhala,
tempat untuk mendidik para calon pendeta Hindu, yang siswanya terbatas dari
kaum Brahmana. Model Mandhala ini lalu dikembangkan para penyebar
Islam menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam disebut “Pesantren”, dimana
siswanya terbuka untuk umum, tidak terbatas pada golongan tertentu.
Pesantren
tidak sekedar sebagai tempat pendidikan, tetapi sekaligus sebagai tempat tinggal
Guru beserta keluarga dan para santri. Komplek-komplek tempat tinggal
mereka ini, lalu dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Dari
kalangan Walisongo, Maulana Malik Ibrahim barangkali dapat dipanang
sebagai perintis pertama pesantren tertua. Mula-mula ia dirikan Langgar atau Musholla sebagai tempat
shalat sekaligus berfungsi sebagai tempat belajar agama, mengaji Al-Qur’an dan
kitab-kitab kuning yang lain. Lama-kelamaan Langgar ini menjadi pesantren
sederhana bagi warga sekitar, terutama generasi mudanya. Demikian pula
Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Muria dan lain-lain, memiliki
pesantren sendiri-sendiri.
Tujuan Pendidikan pesantren adalah untuk
mempersiapkan kader-kader ulama dan muballigh yang siap menyebarkan agama Islam
kepada masyarakat luas, Di samping juga untuk meningkatkan kualitas pengetahuan
agama para santrinya. Setelah pulang, mereka diharapkan menjadi penyebar Islam
dan atau mendirikan Pesantren-pesantren di sekitar daerahnya.
d.
Melalui Cara Ajaran Tasawwuf
Melalui ajaran tasawwuf ini, agama Islam lebih mudah
diterima oleh masyarakat Indonesia, terutama Jawa. Karena ajaran tasawwuf
memiliki beberapa kesamaan unsur dengan kepercayaan lama (Hindu dan Budha) yang
dianut mayoritas masyarakat saat itu, yakni kesamaan dalam mementingkan aspek
batiniah atau mistik.
e. Melalui Cara Politik
Sabdo pandito ratu, bukan jargon
kosong bagi masyarakat tradisional di Indonesia. Pengaruh politik raja sangat membantu proses
Islamisasi. Di Maluku dan Sulawesi Selatan, rakyat berduyun-duyun masuk Islam
setelah Rajanya masuk Islam. Di beberapa daerah di Indonesia, demi kepentingan
politik, kerajaan-2 Islam memerangi kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan
Islam, secara politis, menarik penduduk kerajaan non Islam untuk masuk Islam
f. Melalui Seni Budaya
Berbagai
cabang seni, tradisi dan aspek-aspek budaya lainnya, dilestarikan dan dibiarkan
tumbuh subur, bahkan dikembangkan men-jadi bentuk baru, sekaligus dijadikan
sarana berdakwah, setelah para muballigh memasukkan unsur-unsur keislaman
kedalamnya.
Misalnya Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, sangat berjasa dalam mengembangkan kesenian wayang, lalu dijadikannya sebagai metode dakwah. Setiap datang bulan Mulud, di alun-alun Kraton Demak selalu diadakan pertunjukan wayang, dan para pengunjung tidak ditarik biaya seperser pun, hanya disuruh membaca kalimat syahadat.
3. Peranan Ulama dan Muballigh Dalam
Perkembangan Islam
Berawal dari pesisir Sumatera utara dan pesisir utara
Jawa, Islam disebarluaskan ke pelosok wilayah pedalaman dan pulau-pulau di
Indonesia oleh para muballigh dan ulama.
Untuk kasus di pulau Jawa, proses Islamisasi berjalan
sangat pesat pada abad ke-14 sampai abad ke-15, melalui keenam cara dakwah di
atas. Para Muballigh
yang sangat berjasa dan berperan dalam hal ini ialah kelompok dakwah Walisongo.
Menurut
Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, MA dalam bukunya, Kisah Walisongo,
yang dinukil dari kitab Kanzul 'Ulum, karya Ibnu Bathutoh, yang
disempurnakan Sekh Maulana Maghribi, bahwa
istilah Walisongo merupakan nama sebuah Lembaga Dewan
Dakwah atau Dewan Muballigh di Jawa yang beranggotakan 9 orang
pengurus.
Dewan
Dakwah ini mengadakan tiga kali sidang penggantian pengurus, yaitu pada tahun
1404 M, 1436 M dan 1463 M. Ditambahkan oleh KH Dahlan Abdul Qohhar, Dewan ini
mengada-kan sidang keempat pada tahun 1466 dan sidang kelima sehubungan dengan
kasus Sekh Siti Jenar.
Walisongo
Periode Pertama,
mengadakan sidang
pertama tahun 1404. Sembilan orang Pengurusnya : 1) Maulana Malik Ibrahim (w.
1419 di Gresik); 2) Maulana Ishaq; 3) Maulana Ahmad Jumadil Kubra (makamnya di
Trowulan Mojokerto); 4) Maulana Muhammad
al-Maghrabi (w. 1465 di Jatinom
Klaten); 5) Mau-lana Malik Israil (w.
1435 di Gunung Santri Cilegon); 6)
Maulana Muham-mad Ali Akbar (w. 1435 di
Gunung Santri Cilegon); 7) Maulana
Hasa-nuddin (w. 1462 di samping masjid
Banten lama); 8) Maulana Aliyuddin (w.
1462 di samping masjid Banten
lama); 9) Syekh Subakir (w. 1462 di
Persia).
Walisongo
periode kedua,
sidang kedua tahun
1436. Keputusannya: melengkapi komposisi kepengurusan yang lowong. Maka masuk:
1) Sunan Ampel, mengganti posisi Maulana Malik Ibrahim yang wafat; 2) Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) menggantikan
Maulana Malik Israil yang wafat; 3)
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), mengganti posisi Ali Akbar yang wafat.
Walisongo periode ketiga, sidang
ketiga tahun 1463. Hasilnya: meleng-kapi
kepengurusan dengan memasukkan: 1) Sunan Giri, menggantikan Maulana Ishaq yang
pindah ke Pasai; 2) Sunan Bonang,
mengganti Maula-na Hasanuddin yang wafat;
3) Sunan Kalijaga, mengganti posisi Syekh Subakir yang kembali ke
Persia; dan 4) Sunan Drajat, mengganti
posisi Maulana Aliyuddin yang wafat.
Walisongo perode keempat sidang
keempat tahun 1466, memasukkan : 1) Raden Patah, mengganti
Maulana Ahmad Jumadil Kubra yang wafat; dan 2) Fathullah Khan, mengganti
Maulana Muhammad al-Maghrabi yang wafat.
Walisongo periode kelima, masuk
nama Sunan Muria. Tidak dijelaskan menggantikan siapa, tetapi besar kemungkinan
menggantikan Raden Patah yang naik tahta menjadi Sultan Demak. Pada sidang
kelima ini mereka menentukan sikap
terhadap kasus Sekh Siti
Jenar.
Lepas dari benar-tidaknya pendapat di atas, Walisongo yang disepakati para ahli sejarah, dan nama mereka sudah terkenal luas di masyarakat berjumlah sembilan orang : 1) Maulana Malik Ibrahim; 2) Sunan Ampel; 3) Sunan Giri; 4) Sunan Bonang; 5) Sunan Drajat; 6) Sunan Kalijaga; 7) Sunan Muria; 8) Sunan Kudus; dan 9) Sunan Gunungjati.
B. PERANAN KESULTANAN DI JAWA DALAM PENYEBARAN ISLAM
1. Kesultanan Demak (1500 – 1546)
Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya V, dari ibu muslimah keturunan Campa. R. Patah nyantri berguru kepada Sunan Ampel, lalu dinikahkan dengan putrinya, Dewi Murtasimah. Dia diberi ayahnya tanah perdikan di desa Glagah Wangi Bintoro (Demak). Di sanalah dia diangkat menjadi Adipati oleh ayahnya dan mendirikan pesantren (147 M) sebagai pusat penyebaran agama Islam kepada masyarakat sekitar.
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan dengan lemahnya posisi
Majapahit. Brawijaya V lengser akibat serangan Prabu Girindrawardhana dari
Daha-Kediri tahun 1478 M (ditandai candrasengkala: Sirna Ilang Kertaning
Bumi = tahun syaka 1400 = 1478 M). Hal ini memberi peluang pada penguasa
muslim di pesisir Jawa untuk membangun pusat kekuasaan yang independen, lepas
dari Majapahit. Dengan alasan mengambil hak Tahta kerajaan orang tuanya yang
diambil secara paksa oleh Raja Daha Kediri, atas inisiatif Sunan Ampel, maka
para Walisongo sepakat mengangkat Raden Patah sebagai Raja pertama
Kesultanan Demak pada tahun 1479 (candra sengkala: Geni Mati Siniram Jalmi,
artinya: kezhaliman lenyap dikalahkan kebenaran = thn syaka 1401 = 1479
M), dengan gelar Senopati Jimbun Ngab-durrahman Panembahan
Palembang Sayidin Panotogomo.
Tahun 1512 M, Girindrawardana (Brawijaya VI) dilengserkan
oleh Prabu Udara dan mengangkat dirinya sebagai Brawijaya VII. Pada tahun 1516
M, Raden Patah yang juga bergelar Sultan Al-Fatah Alam Syah Akbar, dapat
mengalahkan Majapahit-Kediri dan melengserkan Prabu Udara (Brawijaya VII) dari
tahtanya, dengan alasan karena bekerjasama dengan Portugis yang punya misi
menyebarkan agama Nasrani di Malaka. Ini sangat merugikan Dakwah Islamiyah
Demak. Sejak saat itu, Kerajaan Majapahit-Kediri runtuh untuk selamanya.
Panji-panji kebesaran (Pusaka kerajaan) Majapahit diusung ke Demak, dan Demak
menjadi Kerajaan yang berdsaulat penuh pada tahun 1517 M.
Raden Patah wafat tahun 1518, digantikan putranya,
Adipati Yunus, alias Pati Unus, yang bergelar Pangeran Sabrang Lor. Disebabkan
perannya yang sangat heroik memimpin armada perang Demak untuk mengusir penjajah
Portugis dari Malaka. Pati Unus wafat tahun 1521 M, lalu diganti adiknya, yaitu
Raden Trenggono.
Di bawah Sultan Trenggono (1521 – 1546 M), Demak
mengalami jaman keemasan. Jasa-jasa beliau: 1). Di bawah panglima Syarif
Hidayatulloh, Banten dilepaskan dari Pajajaran (1526 M), 2). Portugis
berhasil diusir dari pelabuhan Sunda Kelapa (1527 M) dipimpin oleh Fathullah
Khan (Falatehan atau Fatahillah), dan 3). pelabuhan Cirebon direbut dari Pajajaran
(1528).
Alasan perebutan dari Pajajaran ialah karena Pajajaran
menandatangani perjanjian persekutuan secara rahasia dengan Portugis di istana
Pakuan Bogor tahun 1522 M) yang dinilai sangat membahayakan Demak. Untuk
memelihara kelestariannya, Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung
Jati) diangkat untuk menguasai daerah tersebut, setelah sebelumnya ia
dinikahkan dengan adiknya, Ratu Pembayun binti Raden Patah.
Selama
periode Demak, Dakwah Islamiyah berkembang pesat. Penase-hat Sultan (Walisongo)
menyodorkan strategi dakwah yang jitu, yaitu berdakwah melalui pendekatan
budaya, seperti kesenian wayang, tradisi grebek sekaten, grebek mulud,
cerita-dongeng, sya'ir dan tembang mocopat, slametan, dll.
2.
Kesultanan Pajang (1546-1588)
Sultan Trenggono terbunuh di Pasuruan dalam usahanya menyerang kerajaan Hindu Blambangan (Banyuwangi). Sepeninggalnya, terjadi perebuatan tahta kerajaan. Sunan Prawoto yang berhak sebagai penggantinya dibunuh oleh Arya Penangsang, Adipati Jipang. Arya Penangsang lalu dikalahkan oleh menantu Sultan Trenggono yang bernama Mas Karebet alias Jaka Tingkir. Akhirnya, Jaka Tingkir yang menjadi Sultan Demak, dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Sultan
Hadiwijaya
mengusung pusat pemerintahan dari Demak ke wilayah pedalaman, Pajang. Dakwah
Islamiyah tetap berjalan dengan pendekatan budaya. Islam dikembangkan
lebih bercorak mistik, feodalistik dan sinkretistik (campur-aduk) antara ajaran
hindu-budha, kejawen, dan Islam.
Tahun
1587 Sultan Hadiwijaya wafat, maka para Pembesar Demak mengangkat Arya
Pangiri bin Sunan Prawoto (menantu Sultan Hadiwijaya) sebagai penggantinya, sementara Pangeran Benowo
(putra Sultan) diangkat jadi Adipati di Jipang.
Pangeran
Benowo yang lebih berhak jadi Sultan merasa tak puas, lalu minta bantuan kepada
saudara angkatnya, Sutawijaya yang menjadi Senopati dan Adipati di Mataram,
agar mengusir Arya Pangiri dari Pajang. Arya Pangiri akhirnya berhasil ditawan,
namun ia diangkat lagi jadi Adipati Demak.
Dengan begitu, P. Benowo menjadi Sultan. Namun, setelah melihat kekuatan dan kecakapan Sutawijaya dalam pemerintahan, Pangeran Benowo akhirnya menyerahkan tahta warisan ayahnya kepada Sutawijaya tahun 1588, sementara ia menjauhi politik, lalu memusatkan diri pada dakwah Islamiyah dengan mendirikan pesantren di daerah pedesaan.
3.
Kesultanan Mataram Islam (1582-1705)
Daerah Mataram adalah hadiah dari
Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan
tahun 1577, atas jasanya membantu Hadiwijaya me-ngalahkan Aria Penangsang dalam
perebutan kekuasaan di Demak.
Tahun 1584
Sutawijaya menggantikan ayahnya jadi Adipati Mataram. Tahun 1588 menjadi
Sultan pertama Mataram dengan gelar Senopati ing Ngalogo Sayidin
Panotogomo, setelah menerima
limpahan kekuasaan dari Pangeran Benowo.
Sutawijaya wafat tahun 1601. Ia digantikan oleh Mas Jolang, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Seda Krapyak, sampai wafatnya tahun 1413 M, lalu diganti putranya, Mas Jolang. Namanya diganti : Sultan Agung, dengan gelar Senopati ing Ngalogo Sayidin Panotogomo Khali-fatullah ing Tanah Jawa, dan wafat tahun 1546.
Di masa Sultan Agung, Mataram mengalami masa kejayaan. Hampir seluruh Jawa dipersatukan di bawah kekuasaannya. Ia adalah Sultan yang berjiwa besar, sangat cinta bangsa dan tanah air, dan cukup baik penda-lamannya terhadap ajaran Islam.
Sewaktu penjajah Belanda (VOC) menguasai Jayakarta
(Batavia), Sultan Agung dua kali (tahun 1528 dan 1529) mengirim pasukan besar
menyerang Belanda di Batavia, sekalipun mengalami kegagalan.
Di
Bidang Dakwah dan Budaya, ia berhasil melakukan Akulturasi bu-daya, antara
budaya Islam dan Jawa. Diantaranya ia menciptakan "Serat Sastra
Gendhing", yang memadukan karya sastra jawa dan Islam. Ia juga menciptakan
almanak/kalender baru yang lebih dikenal dengan Kalender Jawa,
sebagai hasil gabungan sistem kalender Syaka dan Hijriyah. Angka
tahunnya melanjutkan tahun syaka (1555), tetapi sistim hisabnya mema-kai
perhitungan hijriyah (Qomariyah). Nama bulannya disesuaikan dengan
peristiwa didalamnya,yaitu syuro, sapar, mulud, ba'da mulud, jumadil awal,
jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, syawal, dzulkaidah, besar. Tahun pertama
dan tahun baru dimulai tanggal 1 syuro tahun jawa 1555, bertepatan dengan
tanggal 8 Juli 1633 atau 1 Muharram 1043 Hijriyah.
3.
4. KESULTANAN BANTEN DAN CIREBON
Dalam salah satu
versi, Syarif Hidayatullah adalah berasal dari Pasai yang lama belajar
agama di Mekah. Ketika Pasai dan Malaka dikuasai penjajah kafir Portugis, maka
ia pulang dari Mekah dan langsung ke Demak untuk berjuang melawan Portugis dan
mengembangkan ilmu agamanya di Demak. Oleh sultan Trenggono, ia diangkat jadi
panglima memimpin tentara Demak mengusir Portugis dari Sunda Kelapa (Jayakara)
pada tahun 1527, setelah dia menguasai Banten (1526) dan akhirnya Cirebon
(1528) dari tangan Pajajaran yang dinilai telah bekerjasama dengan Portugis.
Dia dinikahkan dengan
adik Sultan Trenggono, yang bernama Ratu Pembayun binti Raden Patah, dan diberi
hak untuk menguasai dan menyebarkan Islam di tiga daerah pesisir Jawa Barat
tersebut.
Sepeninggal sultan
Trenggono, terjadilah perebutan tahta di Demak (1546). Sejak saat itu, maka
Banten dan Cirebon melepaskan diri dari kekuasaan Demak dan Pajang, lalu menjadi kerajaan yang merdeka.
Setelah masa tua,
Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan julukan SUNAN GUNUNG JATI ini
memusatkan diri untuk berdakwah di Jawa Barat, dengan berkedudukan di Cirebon
sampai wafatnya tahun 1570. Sementara urusan Banten, ia serahkan ke Hasanuddin
(putranya) pada tahun 1552, sampai ia wafat tahun 1570, satu bulan setelah
ayahnya wafat
Selama Hasanuddin
memerintah, Banten menjadi kerajaan besar. Dakwah Islamiyah berkembang
pesat. Pelabuhan Banten menjadi pusat
perdagangan ramai. Lampung dan Bengkulu masuk menjadi wilayahnya.
Hasanuddin wafat tahun
1570, sebulan setelah ayahnya wafat. Lalu ia diganti putranya, Maulana Yusuf
(1570 – 1580). Di masanya, kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan Bogor
diserangnya pada tahun 1579, dan Prabu Sedah, raja terakhir Pajajaran tewas.
Sejak saat itu, kerajaan Hindu Pajajaran Gulung Tikar, hilang
dari peredaran sejarah.
Sementara wilayah
Cirebon, sepeninggal Sunan Gunungjati (1570), diperintah oleh cicitnya yang
bernama Pangeran Ratu, sampai dia wafat tahun 1650. Lalu digantikan oleh
Pangeran Girilaya.
Berbeda dengan Banten
yang berkembang menjadi kerajaan besar, maka Cirebon lebih berkembang menjadi
pusat penyebaran Islam sampai abad-abad selanjutnya.
.
C. PERANAN KESULTANAN DI SUMATRA DALAM PENYEBARAN ISLAM
1. Kesultanan Samudera Pasai
Kesultanan Samudera Pasai yang terletak di
Lhokseumawe Aceh ini didirikan oleh Merah Silu tahun 1285. Berkat pertemuannya
dengan Sekh Ismail, utusan dari Syarif
Mekah, ia masuk Islam. Ia diberi gelar Al-Malikus Shaleh.
Ia wafat tahun 1297, diganti putranya dengan gelar
Al-Malikul Zhahir. Di masanya, Samudera Pasai mengalami masa kejayaan. Rakyat
hidup makmur dan agama Islam berkembang subur, dan menjadi pusat penyebaran
Islam. Pada masa ini, seorang pengembara Muslim yang bernama Ibnu Bathutoh
pernah singgah di Samudera Pasai, lalu dilu-kiskan dalam tulisannya: "Sultan
al-Malik al-Zhahir adalah penganut Islam yang saleh. Baginda dan rakyatnya
ber-madzhab Syafii. Di hari jum'at, Baginda pergi ke Mesjid dengan berjalan
kaki diikuti rakyatnya. Saat pulang dari mesjid, baginda mengendarai gajah.
Rakyat sangat menghormati sultannya. Kehidupan rakyat tampak makmur".
Kerajaan
Samudera Pasai ditaklukkan Portugis tahun 1521. Pada tahun 1524 dengan sultan
terakhir Zainal Abidin, kerajaan ini dianeksasi dan berada di bawah kerajaan
Aceh Darussalam di masa sultan Mughayyat Syah.
2. Kesultanan Aceh Darussalam
Kerajaan ini terletak di daerah Aceh Besar, didirikan Muzhaffar Syah (1465 – 1497). Sejak Malaka diduduki Portugis tahun 1511, kerajaan ini menjadi pusat perdaga-ngan yang ramai. Kerajaan Pidie yang bekerjasama dengan Portugis dan Samudera Pasai ditaklukkan tahun 1524.
Kerajaan mengalami masa kejayaan sewaktu diperintah sultan Iskandar Muda (1608 - 1637). Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan dan daerah Minangkabau berhasil diislamkan. Sepeninggalnya, Aceh diperintah Sultan Iskandar Tsani. Penyebaran dan pengkajian Islam maju dengan pesat. Setelah itu, Aceh diperintah Sultanah (Ratu, wanita) sehingga kerajaan ini menjadi lemah dan kacau. Sekalipun demikian, Aceh tetap berdiri sampai awal abad 20.
Pada jaman Aceh Darussalam ini, sejak sultan Iskandar Muda, telah muncul para ulama yang besar pengaruhnya dalam mewarnai corak pemikiran keislaman di Nusantara pada masa-masa selanjutnya. Bahkan mereka diangkat sebagai Mufti kerajaan (Qoodhi Malikul ‘Adil). Diantaranya: Hamzah Fansuri (dari Barus), Syamsuddin as-Sumatrani (jaman Sultan Iskandar Muda), Sekh Nuruddin ar-Raniri (jaman Iskandar Tsani), dan Abdurrauf Singkel, pengembang Tarikat Syattariyah (jaman Sultanah Safiatuddin Syah),
D. PERANAN KESULTANAN DI SULAWESI DAN MALUKU
1. Kesultanan Goa-Makassar.
Islam
masuk ke Goa Makassar berkat jasa para pedagang dan ulama asal Minangkabau, Datu' ri Bandang. Sejak akhir abad
ke-16, sudah banyak masyarakat yang masuk Islam, namun kerajaan Islam ini resmi
berdiri tanggal 22 September 1605 M dengan Sultan Alaudin sebagai
raja pertama yang memerintah selama 33 tahun (1605-1639). Di masanya Islam
mengalami perkembangan pesat. Kerajaan Wajo dan Bone ditundukkan, sehingga
wilayah kerajaan Goa hampir mencakup wilayah
Sulawesi,.
Raja
kedua: Muhammad Sa'id, memerintah selama 14 tahun (1639-1653).
Lalu digantikan
putranya, Sultan Hasanuddin, memerintah selama 16 tahun (1653 -
1669). Di masa Hasanuddin, Kesultanan Goa - Makassar mengalami puncak kejayaan,
menjadi kerajaan yang tangguh dan kuat. Penjajah Belanda (VOC) menjuluki
Hasanuddin "Ayam Jantan dari Makassar", karena beberapa
kali menyerang benteng VOC, hingga armada Belanda kewalahan dan kocar-kacir.
Hasanuddin baru tunduk pada Belanda setelah raja Bone, Aru Palaka, terbujuk Belanda untuk bersama-sama menyerang Goa makassar.
2. Kesultanan Ternate
Raja Ternate yang pertama kali masuk Islam adalah raja ke-19, bernama Sultan Marhum. Ia mengirim putranya yang bernama Zainal Abidin ke Jawa untuk mempelajari Islam, langsung di bawah bimbingan Sunan Giri. Sekembalinya dari Giri, ia menyebarkan Islam kepada rakyat Ternate.
Sepeninggal Sultan Marhum, ia diganti sultan Zainal Abidin, kemudian diganti putranya, sultan Khairun.
Sebelum
Khairun jadi sultan, penjajah Portugis
yang punya semboyan 3 G (Gold,
Glory and Gospel, alias : Emas, Kemasyhuran, dan Injil) sudah
masuk ke Ternate Maluku. Mula-mula bertujuan dagang, namun ujung-ujungnya
ternyata ingin menguasai kerajaan dan mengkristenkan rakyat. Untuk itu sultan
Khairun berjuang memerangi Portugis dari Ternate, kemudian diteruskan putranya
yang bernama sultan Babulloh (1570-1583), sampai Portugis hengkang dari
Ternate.
Kesultanan
Ternate mulai pudar setelah Indonesia dalam penjajahan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar